Masih jamannya ga sih sebelum Hari Raya Galungan harus beli baju baru?
Jadi teringat pada masa-masa kecil waktu tinggal di kampung dengan perayaan Galungannya. Membeli baju baru sudah merupakan tradisi yang lekat di kampung. Dibelikan baju baru untuk dipakai pada Hari Raya Galungan rasanya wahhhh sekali. Apalagi kalau bajunya bagus, rasanya lebih wahhh lagi.
Jadi di kampung saya, walaupun tidak di Bali, namun kami sekampung adalah orang Bali. Jadi perayaan Galungan bisa dikatakan sama semaraknya dengan di Bali. Bahkan mungkin lebi semarak? ya ga sih? mmm mungkin saja. Namun apalah itu, yang penting meriah.
Bahkan sekolah di kampung juga diliburkan karena ada Hari Raya Galungan, kecuali mungkin jika Galungan bertepatan dengan masa ujian.
Karena kebetulan hari pasaran di kecamatan tempat saya tinggal adalah hari sabtu, dan Hari Raya Galungan adalah hari rabu, maka hari sabtu sebelum Galungan juga merupakan hari spesial. Spesial karena hari sabtu bolos sekolah demi kepasar untuk beli baju baru. Dari pagi-pagi buta sudah menunggu mobil "unyil" di depan rumah untuk berangkat ke pasar bersama ibu tercinta.
Lhoo kok tidak bawa motor? motornya dimana?
Jangan punya motor, punya sepeda saja dulu sudah matur nuwun, itupun sepeda yang sudah usang yang sudah berkali-kali masuk bengkel karena salah satu rangkanya patah pada sambungan rangkanya. Berbeda ya dengan anak jaman sekarang.
Tidak mungkin dengan bapak ya, karena kalau dengan bapak pasti anggaran terbatas, karena keuangan keluarga di pegang bendahara negara, yaitu ibu tercinta.
Jika dengan bapak ke pasar, jika merengek minta sesuatu, maka siap-siap saja kuping menjadi merah (karena dijewer ya). Kalau dengan ibu, cukup sedikit menitikkan air mata maka apa yang kita minta sudah pasti akan ada di tangan. Begitu pengalaman saya.
Itu sudah sekitar 20 tahun yang lalu. Kalau sekarang berbeda lagi. Hari Raya Galungan tidak pernah meriah lagi, karena sudah tinggal di tempat orang. Ibu di Indonesia saya di Indonesia. Walaupun jika tinggal bersama dan merengek minta baju baru, bukan baju yang di dapat. Dapatnya pasti "jaje opak", alias diomelin.
Kalau tebakan saya, ibu saya akan ngomel begini "Mimih dewa ratu kerumpung, ci sube tue nu masih nagih baju baru ken meme, sing tingalin kene memene sing taen pese, cai sebilang dine pesu, bla bla bla bla....". (kerumpung itu nama panggilan sayang dari ibu buat saya). Begitu kira-kira. Serem kan?
Tak apalah, walaupun jauh namun tepat Galungan.
Galungan selalu identik dengan lawar ya. Namun tidak dengan saya. Saya sama sekali tidak bisa ngelawar seperti anak-anak Bali kebanyakan. Kalau "melinting sate" masih bisa lah, tapi buat adonannya tidak bisa. Memalukan ya, tidak mencerminkan orang Bali.
Apalagi begitu melihat teman di fb ada yang upload foto lawar, sate de el el disertai dengan beberapa botol Bir Bintang, saya jadi minder. Karena saya sama sekali tidak pernah minum bir. Komplit dah...
Ya memang saya bukan orang Bali, saya orang Lampung yang kebetulan bersuku Bali. Bisa bahasa Lampung?
Tidak.
Aduh salah lagi. Saya orang Bali deh, cuma kebetulan tidak bisa ngelawar.
Ngelantur sekali ya.
O ya ada lagi...
Di kampung saya, Galungan biasanya juga identik dengan main ceki dan tajen. Jadi dulu, bapak-baka yang gemar main ceki mereka akan berkumpul di satu tempat yang menyediakan tempat untuk main ceki. (Kalau ini saya bisa, main ceki maksudnya).
Begitu juga dengan tajen, mereka akan berkumpul di tempat yang sedikit jauh dari perkampungan untuk mengadu ayam. Karena kalau tajennya dengan dengan perkampungan, besar kemungkinan akan mendapat tiket gratis borgol polisi kalo ketangkap.
Sekarang masihkah begitu, ya tidak tahu, mungkin saja. Semoga tidak ya.
Nah apapun itu, dari jauh di sini, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Galungan untuk semeton di sana di Indonesia. Semoga di Galungan yang akan datang kita bisa ketemu ya (kalo aku kenal kamu dan kamu kenal aku).
Komentar
Posting Komentar