Di kampung
halaman saya bekerja sebagai polisi dan PNS adalah sebuah pekerjaan yang
bergengsi. Oleh karena itu sudah menjadi hal yang biasa jika beberapa orang tua
rela mengorbankan banyak harta bendanya untuk membantu anak-anaknya mendapatkan
pekerjaan sebagai polisi ataupun PNS. Bahkan beberapa orang sampai menjual
tanah warisan untuk memenuhi hasrat tersebut.
Seperti kita
ketahui bersama sebenarnya untuk
mendapatkan pekerjaan sebagai PNS atau polisi adalah tidak dipungut dengan
biaya. Namun sampai saat ini masih saja banyak orang-orang yang mau dibodohi
oleh oknum-oknum tertentu agar membayar sejumlah uang agar bisa lulus sebagai
PNS atau polisi.
Karena sudah
menjadi kebiasaan salah yang dibenarkan dan tingginya hasrat untuk menjadi PNS
dan polisi, akhirnya beberapa oknum memanfaatkan kesempatan ini untuk meraih
keuntungan. Bahkan sudha banyak juga orang-orang yang tertipu mentah-mentah
oleh oknum tertentu.
Kembali ke cerita
mengenai masyarakat di kampung saya. Salah seorang adik sepupu saya saat ini
sedang mengikuti pendidikan untuk menjadi polisi selama 7 bulan. Sebelumnya informasi yang saya dapat
dari paman saya adalah adik sepupu saya lulus tes tanpa mengeluarkan uang. Namun
setelah saya sempat bertatap muka dengan paman, terkuak juga hal yang
sebenarnya. Adik saya sudah menghabiskan lebih dari 150 juta untuk lulus
sebagai brigadir polisi.
Disatu sisi saya
sangat senang memiliki seorang saudara yang menjadi polisi, namun di sisi lain
saya menjadi agak sedih karena harus mengeluarkan sangat banyak uang dalam
waktu yang singkat. Memang segala sesuatu membutuhkan uang. Namun haruskah kita
membayar untuk sesuatu yang sebenarnya gratis?
Sebuah cara
berfikir yang sangat berbeda. Saya sendiri misalnya, selalu berusaha untuk
mendapatkan pekerjaan tanpa harus mengeluarkan uang kantong. Karena tujuan kita
mencari kerja adalah untuk mendapatkan uang, bukan mengeluarkan uang. Apalagi untuk sebuah pekerjaan sebagai polisi
yang notabenenya adalah sebuah kontrak untuk siap mati.
Selain itu saya
memiliki adik sepupu lainnya lagi yang juga berniat untuk melamar sebagai
polisi saat ia lulus SMA nantinya. Bahkan ayahnya mengatakan akan menjualkan ½ hektar
tanah ladang untuk membantu memenuhi keinginan tersebut. Tanah tersebut adalah
warisan dari kakek kami.
Saya sempat
berdiskusi tentang hal tersebut dengan paman saya. Saya sempat mengatakan
bahwasanya jangan sampai tanah warisan tersebut kepada orang lain. Bahkan jika
bisa jangan sampai menjualnya.
Beliau menawarkan
kepada saya untuk membayar tanah tersebut dengan harapan tanah tidak akan
berpindah tangan kepada orang lain. Saya sempat bertanya, jika saya tidak mampu
membayar tanah tersebut, apakah tanah akan tetap dijual? Dengan gamblang paman
saya mengatakan akan tetap menjual tanah tersebut.
Saya jadi
berkesimpulan, hasrat untuk menjadi polisi sudah menutupi harga sebuah warisan
yang sudah turun temurun diwariskan. Seolah-olah tidak ada jalan lain untuk
mencapai keinginan tersebut. Pertanyaan mengapa dan mengapa terus
mengawang-awang di kepala saya. Mengapa demi sebuah pekerjaan sebagai polisi
harus menjual tanah warisan leluhur.
Haruskah setiap
pekerjaan yang diinginkan mesti didapatkan dengan menjual tanah ataupun harta
benda lainnya?
Pada taraf
tertentu sangat wajar mengeluarkan uang untuk membayar hal-hal kecil yang
sifatnya mendasar, yang saya rasa tidak harus menjual tanah warisan untuk
mendapatkan uangnya. Namun jika memaksakan menjual tanah warisan untuk menyuap
orang-orang yang membantu meloloskan tes ujian masuk sebagai polisi, tentu saja
hal itu sangat bodoh sekali.
Semoga hal-hal
seperti ini tidak berlanjut.
Komentar
Posting Komentar